BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Buta aksara adalah masalah yang sangat serius karena
jika seseorang buta aksara sama artinya dengan tidak berkemampuan untuk membaca
dan menulis akan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. UUD 1945 mengamanatkan
kepada semua warga negara untuk memberantas buta aksara sesuai dengan tujuan negara
yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Juga terdapat pada BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN pasal 31 ayat 1 yang
berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Namun dalam kenyataannya masih banyak warga negara
yang buta aksara kususnya di daerah Jawa Tengah. Itu berarti bahwa pemerintah
belum bisa mencapai tujuan tersebut. Walaupun sudah dilakukan upaya-upaya untuk
memberantas buta aksara, tetapi buta aksara masih banyak terdapat di masyarakat,
karena terdapat banyak kendala-kendala yang dihadapi, misalnya mereka yang buta
aksara itu tidak mau belajar membaca, menulis, berhitung serta berkomunikasi.
Walaupun sudah ada kemauan tetapi terhambat oleh kemiskinan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
kondisi riil buta huruf di masyarakat Jawa Tengah ?
2.
Bagaimana
metode yang digunakan dalam upaya pemberantasan buta aksara melalui pendekatan pengembangan
masyarakat?
3.
Apa saja upaya pemerintah dalam memberantas buta aksara di Indonesia?
4.
Kendala apa saja yang Dihadapi dalam Upaya Pemberantasan Buta Aksara di
Jawa Tengah?
3. Tujuan dan
Manfaat Penulisan
· Tujuan
a.
Bagi Pembaca:
1.
Meningkatkan
kesadaran pentingnya ketrampilan membaca-menulis di dalam kehidupan.
2.
Menumbuhkan
kepedulian terhadap masalah buta aksara.
b.
Bagi Penulis:
1.
Mengetahui
kebenaran kontrovensi buta aksara yang ada di Jawa Tengah
2.
Lebih kritis
dalam menyikapi masalah buta aksara
· Manfaat
a.
Bagi Pembaca:
1.
Mengetahui adanya
buta aksara di Indonesia.
2.
Mengetahui
langkah-langkah pemberantasasn buta aksara.
3.
Mengetahui upaya
pemerintah dalam memberantas buta aksara yang ada di Indonesia.
b.
Bagi Penulis:
1.
Mengetahui
metode yang digunakan dalam upaya pemberantasan buta aksara melalui pendekatan
Pengembangan Masyarakat
2.
Mengetahui
kendala yang dihadapi dalam upaya pemberantasan buta aksara.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.
Hakikat
Berpacu Memberantas Buta Aksara
a.
Makna
dan Arti Kata “Berpacu”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “berpacu” adalah berlari
kencang-kencang, berusaha untuk saling mendahului. Kata “berpacu” sama artinya
dengan: sungga, patu, mengebut, bersaing, beradu dan berlomba-lomba.
b.
Makna
dan Arti Kata “Memberantas”
Kata “memberantas”
berasal dari kata dasar berantas, kata ini dapat berimbuhan menjadi
meberantas, pemberantasan, pemberantas dan memberantas.
Definisi
pemberantasan (kata benda) adalah tindakan menghancurkan, membinasakan, atau
menghapus, kehancuran, pemusnahan.
Contoh:
Beberapa telah berteori bahwa pemberantasan dinosaurus itu disebabkan
oleh perubahan radikal dalam iklim.
c.
Pengertian
Buta Aksara
Buta
aksara adalah ketidakmampuan membaca dan menulis baik bahasa Indonesia maupun
bahasa lainnya. Buta aksara juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk
menggunakan bahasa dan menggunakannya untuk mengerti sebuah bacaan,
mendengarkan perkataan, mengungkapkannya dalam bentuk tulisan, dan berbicara.
Dalam
perkembangan saat ini kata buta aksara diartikan sebagai ketidakmampuan untuk
membaca dan menulis pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi dengan orang
lain, atau dalam taraf bahwa seseorang dapat menyampaikan idenya dalam
masyarakat yang mampu baca-tulis, sehingga dapat menjadi bagian dari masyarakat
tersebut.
Untuk
mengatasi permasalahan buta aksara, pemerintah pusat telah mengeluarkan
beberapa landasan hukum sekaligus sebagai dasar kebijakan dalam
memberantas buta aksara, yaitu:
1. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dan Pemberantasan Buta aksara.
2. Keputusan bersama Mendiknas, Mendagri, dan Meneg PP tentang
Percepatan Pemberantasan Buta Aksara Perempuan.
3. Kerjasama Mendiknas dengan berbagai organisasi sosial
kemasyarakatan di antaranya: PKK Pusat, Muslimat NU, Aisyiyah, Kowani, dan
Wanita Islam.
4. Keputusan MENKOKESRA No. 22 tahun 2006 tentang Tim Koordinasi
Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas dan Pemberantasan Buta
Aksara.
5. Keputusan Mendiknas No. 35 th 2006 tentang Pembentukan Tim
Pelaksana Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan wajar Dikdas dan pemberantasan
Buta Aksara dan pembentukan sekretariatnya.
6. Keputusan Dirjen PLS No. Kep-82/E/MS/2007 tentang Pembentukan
Kelompok Kerja GNP-PBA.
2.
Hakikat Pengembangan Masyarakat
Pengembangan
Masyarakat (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu
“pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan
merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan
manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu
ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya. Masyarakat dapat diartikan
dalam dua konsep, yaitu:
1. Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah
geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah
perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.
2. Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan
kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan
bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan
identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang
memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para
pengguna pelayanan kesehatan mental (Mayo, 1998).
Tiga
fokus perhatian Pengembangan Masyarakat, yaitu masalah, populasi, dan arena.
Tiga aspek tersebut dapat digunakan sebagai unit analisis bagi para Pekerja
Sosial dalam mengidentifikasi dan mempelajari kebutuhan akan perubahan dan
karenanya dapat dijadikan patokan dalam merumuskan solusi. Beberapa kegiatan
yang dapat dilakukan berdasarkan ketiga unit analisis tersebut pada intinya
melibatkan dua kegiatan utama, yakni mempelajari literatur dan mewawancarai
populasi yang sedang terkena masalah yang mungkin cukup serius (Netting,
Kettner dan Mc Murtry, 2004).
Masalah
dan kebutuhan muncul dalam berbagai bentuk. Sebagian masalah berbentuk
persoalan personal atau keluarga yang dapat dipecahkan dalam konteks individu
atau keluarga pula. Masalah lainnya bisa memiliki spektrum yang lebih luas dan
hanya dapat dipecahkan melalui perubahan sosial pada tingkat rukun tetangga,
organisasi, dan komunitas. Para pemuka masyarakat, pemimpin politik dan aktivis
biasanya sangat bersemangat untuk melakukan perubahan dengan berusaha secepat mungkin
menghasilkan solusi-solusi yang dianggapnya paling praktis (Netting, Kettner
dan Mc Murtry, 2004).
Pengembangan
Masyarakat memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang
memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama
dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pengambangan Masyarakat seringkali diimplementasikan dalam bentuk:
1. Proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat
memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya.
2. Kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan
tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab.
(Payne, 1995).
(Payne, 1995).
Pengembangan
Masyarakat adalah “the process of assisting ordinary people to improve
their own communities by undertaking collective actions.” Secara khusus
Pengembangan Masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang
yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan
maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin,
usia, dan kecacatan (Twelvetrees, 1991).
Secara
garis besar, perspektif Pengembangan Masyarakat dibagi ke dalam dua bingkai,
yakni pendekatan “profesional” dan pendekatan “radikal”. Pendekatan profesional
menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem
pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu,
berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme dan analisis anti-rasis,
pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah ketidakseimbangan
relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-kelompok lemah,
mencari sebab-sebab kelemahan mereka, serta menganalisis sumber-sumber
ketertindasannya (Twelvetrees, 1991).
BAB III
ANALISIS
1.
Buta Huruf atau Buta
Aksara di Jawa Tengah
Berdasarkan
laporan resmi dari badan sosial dunia, Indonesia mempunyai banyak masyarakat
yang masih buta huruf. Pada tahun 2005, penduduk Indonesia yang masih buta
huruf pada usia 10 tahun keatas sebanyak 15,04 juta orang. Dengan perincian
jumlah penduduk usia 15 – 44 tahun yang buta huruf tercatat 3,.5 juta orang,
sedangkan usia 45 tahun keatas yang masih buta huruf tercatat 11,07 juta.
Di
Wonosobo, total warga yang belum melek huruf hingga akhir Agustus 2012, sebanyak
42.572 jiwa. Dari jumlah itu, peringkat angka buta huruf terbesar yakni di
Kecamatan Kertek sebanyak 6.079 jiwa, Kepil’ sebanyak 4.445, dan kecamatan
Sapuran sebanyak 3.295 jiwa. Dari lima belas kecamatan yang ada jumlah warga
yang buta huruf relative rendah yakni di Kecamatan Leksono yang hanya 1.084
jiwa.
Di
kabupaten Kebumen, merujuk data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora)
Kebumen 2012 jumlah warga buta aksara mencapai 20.397 orang, tersebar di 26
kecamatan. Angka tersebut didominasi oleh perempuan yakni 13.460 orang dan
laki-laki 6.937 orang.
Di
Kabupaten Banyumas, jumlah warga yang masih buta huruf sekitar 6,6 persen dari
total jumlah penduduk 1.554.527 jiwa. Data tersebut adalah data yang diperoleh
dari BPS.
Hal
ini menunjukkkan bahwa tingkat kesadaran pendidikan di Indonesia khususnya di
Jawa Tengah masih tergolong rendah. Apabila hal ini tidak ditanggulangi, maka
Indonesia dapat menjadi negara yang terbelakang, karena sebagian besar
penduduknya tidak bisa membaca.
Upaya
penanggulangan kemungkinan buta huruf dapat dilakukan sejak dini yaitu dengan
sekolah. Melalui bangku sekolah, anak dapat belajar untuk membaca agar nantinya
tidak menambah daftar panjang permasalahan di Indonesia melalui penambahan
angka penyandang buta aksara.
Berdasarkan
sebuah penelitian, orang-orang yang menyandang buta aksara lebih tertinggal dan
lebih terbelakang daripada orang-orang yang pandai dan bisa membaca. Oleh
karena itu, apabila masyarakat suatu bangsa makin tertinggal dari bangsa lain,
maka bisa dikatakan pembangunan negara tersebut juga masih tertinggal dari
negara lain.
Buta
aksara yang ada di Indonesia sebenarnya telah ada sejak zaman penjajahan. Dari
pihak negara penjajah memang telah disengaja agar rakyat Indonesia menjadi
lebih terbelakang dan bodoh-bodoh agar nantinya tidak merugikan mereka yang
menjajah. Pada masa tersebut, tidak ada sekolah untuk rakyat yang bukan
keturunan “ningrat”, sehingga rakyat Indonesia yang miskin sama sekali tidak
ada kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan terjadilah buta aksara. Hal ini
sama sekali tidak menguntungkan rakyat Indonesia sendiri, karena menjadikan
penjajah makin lama menduduki Indonesia.
Menurut
pengamat sosial kemasyarakat Universitas Sebelas Maret, Prof Dr Sodiq A Kuntoro
menegaskan disamping faktor kemiskinan baik struktural dan absolut, penyebab
buta aksara juga dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus sekolah di
Indonesia. Menurut beliau lagi, adanya krisis multidimensional ini sangat
mempengaruhi usaha pemerintah untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun. Setiap
tahun hampir 1 juta anak terancam putus sekolah dasar dikarenakan berbagai
sebab. Angka putus sekolah SD dan madrasah ibtidaiyah, dalam enam tahun
terakhir rata-rata putus sekolah sebanyak 761.366 anak dari seluruh jumlah
siswa SD dan MI sebanyak 25.729.254 anak di Indonesia.
Putus
sekolah anak SD ini, lanjutnya menjadi penyumbang terbesar bagi bertambahnya
jumlah buta aksara di Indonesia karena menurut penelitian UNESCO, jika peserta
pendidikan sekolah dasar mengalami putus sekolah khususnya ketika dia masih
duduk di kelas I hingga kelas III, maka dalam empat tahun tidak menggunakan
baca tulis hitungnya, maka mereka akan menjadi buta aksara kembali. Belum lagi
masih banyak anak Indonesia yang belum memiliki kesempatan untuk masuk sekolah
karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua
untuk mempekerjakan anak mereka untuk mendatangkan pemasukan tambahan bagi
keluarga.
2.
Metode yang Digunakan
dalam Upaya Pemberantasan Buta Aksara Melalui Pendekatan Pengembangan Masyarakat
Pemberantasan
buta aksara tidak dapat langsung dilaksanakan. Namun memerlukan waktu dan
perancangan program yang tepat. Dalam Pengembangan Masyarakat, program biasanya
dikembangkan untuk menyediakan pelayanan sosial yang secara langsung menyentuh
klien atau sasaran perubahan. Dalam kasus pemberantasan buta aksara ini,
perancangan program dapat dilaksanakan sebagai berikut:
1)
Merumuskan nama program atau intervensi.
Nama
program bisa mengacu pada tujuan umum (goal) program yang berfungsi memberikan
fokus pada rencana atau usaha perubahan, serta pedoman bagi maksud atau
alasan-alasan mengapa program Pengembangan Masyarakat perlu dilakukan.
2)
Menyatakan tujuan-tujuan hasil.
Menjelaskan
hasil-hasil yang ingin dicapai sebuah program secara terukur dalam kurun waktu
tertentu dan dengan indikator atau ukuran yang ditetapkan. Misal: menetapkan
kerangka waktu, mendefinisikan populasi sasaran, merumuskan hasil yang ingin
dicapai, menyatakan indikator atau kriteria untuk mengukur pencapaian hasil.
3)
Menyatakan tujuan-tujuan proses.
Misalnya
adalah menetapkan kerangka waktu bagi proses pencapaian tujuan, mendefinisikan
populasi sasaran, merumuskan hasil dari proses pencapaian tujuan, menyatakan
indikator atau kriteria yang dapat dijadikan dokumen
4)
Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan.
Membuat
format kegiatan-kegiatan untuk memudahkan pemantauan (monitoring),
merumuskan kegiatan atau tugas yang harus selesai dilakukan untuk mencapai
tujuan.
5)
Mengembangkan rencana aksi.
Merancang
manajemen logistik, memilih dan melatih para partisipan.
6)
Memonitor proses kegiatan.
Memonitor
kegiatan-kegiatan teknis, memonitor kegiatan-kegiatan interpersonal.
7)
Mengevaluasi hasil intervensi.
Membuat
laporan-laporan evaluasi secara periodik berdasarkan hasil monitoring.
3.
Upaya Pemerintah untuk
Memberantas Buta Aksara di Indonesia
Indonesia
dapat dikatakan Negara yang tergolong cepat dalam pemberantasan buta aksara.
Bahkan hal ini telah diakui oleh badan-badan dunia seperti UNESCO, UNICEF,
serta WHO. Hal ini menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi pemerintah Indonesia
khususnya. Oleh karena itu, setiap tahunnya pemerintah mempunyai target sendiri
dalam upaya memberantas buta aksara. Pada tahun 2009 ini, pemerintah
mentargetkan penurunan angka buta aksara sebanyak 5% dari tahun 2008.
Akan
tetapi, pada dasarnya agak susah memang untuk dapat memberantas buta aksara
secara tuntas karena buta aksara yang masih tersisa merupakan kelompok yang
paling sulit diberantas. Sebab, sebagian besar dari mereka berusia di atas 44
tahun yang umumnya berasal keluarga kurang mampu, penglihatannya sudah
terganggu dan kebanyakan tinggal di daerah terpencil.
Pemerintah
tidak dapat hanya tinggal diam dengan keadaan seperti ini. Tingkat buta aksara
di Indonesia yang masih tergolong tinggi akan mengakibatkan kurang produktifnya
masyarakat, sehingga dapat dikatakan, hal ini digunakan sebagai indikator
keberhasilan Pengembangan Masyarakat. Oleh karena itu, upaya pemerintah
sangatlah kuat dalam upaya pemberantasan buta aksara. Hal ini dapat dilihat
dari berbagai segi:
1) Pemerintah Indonesia mengalokasikan dana sebesar Rp 600 miliar
pada tahun 2007 untuk program pemberantasan buta aksara dan jumlah dana ini
berbeda tiap tahunnya.
2) Pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah beserta
ormas-ormas lain untuk keberhasilan pelaksanaan program ini agar angka buta
aksara di Indonesia dapat berkurang semaksimal mungkin. Diharapkan dengan
adanya bantuan dari ormas lain, angka buta aksara dapat berkurang lebih cepat
dan lebih terarah.
3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan dinas pendidikan dimana
upaya pemberantasan buta aksara dilaksanakan oleh perguruan tinggi, utamanya
oleh mahasiswa. Hal ini dikarenakan: (pertama) para mahasiswa dapat dijadikan
sebagai tutor yang telah mempunyai bekal kemampuan akademis dan usia yang masih
muda sehingga mempunyai idealisme yang tinggi dalam rangka pencapaian tugas
yang akan dibebankan. (kedua) mahasiswa akan lebih intens bertemu dengan warga
belajar karena berada di lingkungan warga belajar. (ketiga) dengan pendekatan
ini diharapkan waktu untuk pemberantasan akan empat kali lebih cepat dibanding
dengan yang ditangani oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan organisasi lain.
(keempat) adanya sebuah fakta bahwa nilai mahasiswa di mata masyarakat masih
sangat tinggi sehingga diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap program ini
juga meningkat.
4) Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2006
tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
5) Pemerintah menerapkan strategi untuk pemberantasan buta aksara
seperti yang diusulkan oleh UNESCO, yaitu (pertama) pemetaan jumlah penyandang
buta aksara secara tepat. (kedua) perluasan informasi dan sosialisasi
pentingnya melek aksara. (ketiga) pemberdayaan sekolah formal dan nonformal
bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM). (keempat) program
pendidikan membaca secara inovatif melalui kegiatan di luar sekolah. (kelima)
menjalin kemitraan dengan UNESCO.
Contoh
nyata upaya pemerintah dalam program pengentasan buta aksara ini antara lain
pada tahun 2005, Depdiknas telah menyusun Rencana Strategis Pembangunan
Pendidikan Nasional; (Renstra Depdiknas) untuk tahun 2005-2009 yang menitik
beratkan kepada terwujudnya kehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara yang aman,
bersatu, rukun dan damai, terwujudanya masyarakat Bangsa dan Negara yang
menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak asasi manusia serta terwujudnya
perekonomian yang ampuh menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak
serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan, yang
dilandasi keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.
Guna
mewujudkan itu, Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 2006 sampai 2009 ini
telah menetapkan 3 pilar kebijakan pembangunan pendidikan agar setiap pengambil
keputusan dan operator pendidikan di pusat maupun daerah memiliki komitmen
bersama tentang pemerataan dan perluasan akses yang diarahkan pada upaya
memperluas daya tampung satuan pendidikan sesuai dengan prioritas nasional,
serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari golongan
masyarakat yang berbeda, baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat
tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan
tersebut ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia agar dapat
belajar sepanjang hayat dalam rangka pemenuhan hak warga Negara terhadap
pendidikan.
Dari
contoh di atas, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan sangatlah diutamakan,
demi terwujudnya esensi dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sangat jelas di sini bahwa Pemerintah
Indonesia sangat menjunjung tinggi pendidikan dan selalu berupaya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya pengentasan buta aksara,
mulai dari Wajib Belajar 9 tahun hingga sekolah gratis dan program
pemberantasan buta aksara yang diperuntukkan warga yang bukan anak-anak lagi.
Namun
Pemberantasan buta aksara tidak lagi cukup pada membuat warga yang belum melek
huruf mampu membaca dan menulis. Program itu mesti diarahkan dan diintegrasikan
untuk memberdayakan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Upaya pemberantasan
buta aksara diintegrasikan juga untuk membuat warga berdaya dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya, dan kehidupan berbangsa. Tantangan sekarang bukan
sekadar buta aksara hilang, tapi membuat warga berdaya untuk memperbaiki taraf
hidup.
Pemerintah
telah menetapkan fokus pemberantasan buta aksara. Fokus pemberantasan buta
aksara tersebut terutama di daerah transmigrasi, pesisir, sekitar hutan, dan
kepulauan. Selain itu, sasaran juga diperkuat bagi masyarakat perbatasan,
masyarakat perkotaan yang belum terlayani, santri/pesantren tradisional, serta
komunitas adat terpencil. Hal ini dikarenakan, masyarakat yang tinggal di
daerah ini belum mampu secara ekonomi untuk menuntaskan belajar formal mereka,
serta kurangnya tenaga pengajar yang ada di daerah ini.
Pemberantasan
buta aksara merupakan salah satu fokus penting untuk memperbaiki indeks
pembangunan manusia di tiap-tiap daerah. Berhasilnya program pemberantasan buta
aksara akan membuat warga percaya diri dan berdaya untuk keluar dari kemiskinan
dan keterbelakangan.
4.
Kendala yang Dihadapi
dalam Upaya Pemberantasan Buta Aksara di Jawa Tengah
Tidak
ada gading yang tak retak. Semua program pasti mempunyai kendala. Demikian juga
dengan program pemberantasan buta aksara ini. Meskipun Indonesia mampu
mengurangi angka penyandang buta aksara, namun ternyata dibalik itu semua para
subjek pelaksana teknis menghadapi banyak kendala. Diantaranya adalah:
a. Banyak masyarakat Jawa Tengah di daerah Wonosobo, Purwokerto,
Kebumen, Banyumas yang menyandang buta aksara sudah terlalu tua sehingga
kemampuan menyerap ilmu lebih lambat, belum lagi yang menderita gangguan penglihatan
karena usia mereka yang sudah tidak muda lagi.
b. Adanya data yang tidak valid atau peserta fiktif. Hal ini
dikarenakan mungkin karena tidak ada peminat untuk mengikuti diklat dalam upaya
pemberantasan buta aksara. Mereka yang tidak ikut kebanyakan telah mempunyai
kesibukan sendiri seperti bekerja di sawah ataupun menjadi ibu rumah tangga.
c. Dalam pelaksanaan program-program tersebut, terlalu memakan
waktu sehingga tidak efisien bagi mahasiswa yang mempunyai kesibukan sendiri,
serta masyarakat yang bersangkutan.
d. Keterbatasan biaya.
e. Banyaknya penduduk di wilayah Jawa Tengah.
BAB IV
PENUTUP
1. Simpulan
Indonesia
mempunyai banyak masyarakat yang masih buta huruf. Buta huruf atau buta aksara
adalah mereka yang tidak dapat membaca, dan menulis secara sederhana untuk
keperluan sehari-hari. Definisi ini merupakan hal standar yang diakui secara
internasional. Angka buta aksara di Indonesia masih tergolong tinggi mengingat
banyaknya angka putus sekolah serta masyarakat yang belum mampu untuk membiayai
sekolah.
Berbagai
upaya telah ditempuh untuk program pemberantasan buta aksara ini. Diantaranya
melalui metode pendekatan Pengembangan Masyarakat. Berdasarkan metode tersebut,
ada tujuh langkah yang dapat dilaksanakan dan tujuh langkah tersebut harus
berurutan sehingga dalam pelaksanaannya dapat diaplikasikan secara maksimal.
Pemerintah
sendiri mempunyai berbagai cara untuk mengurangi angka buta aksara di
Indonesia. Cara yang ditempuh dapat dilaksanakan melalui program sekolah
gratis, bekerjasama dengan dinas pendidikan maupun ormas lain untuk memberikan
diklat khusus kepada penyandang buta aksara. Tujuan dilaksanakan program ini
antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar nantinya tidak
tertinggal dari Negara lain. Pada tahun 2009 ini, pemerintah mentargetkan
penurunan angka buta aksara sebesar 5% dengan anggaran dana sekitar Rp 600
miliar untuk teknis pelaksanaan di lapangan.
Dalam
pelaksanaan program ini ditemui banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Hal
ini dikarenakan kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri.
2. Saran
Dari ulasan di atas,
saran yang dapat penulis sampaikan antara lain:
1. Pemerintahan di Jawa Tengah harus lebih tegas dalam merancang
sebuah program agar pada akhirnya suatu program dapat terlaksana dengan baik.
2. Pemerintahan harus bekerjasama dengan pihak lain agar angka buta
aksara di Jawa Tengah dapat berkurang.
3.
Tidak ada salahnya merancang
program sekolah gratis, namun pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan
masyarakat dan harus tetap memonitor agar pihak sekolah tidak menarik biaya
terlalu mahal.
4.
Program diklat harus dibuat
semenarik mungkin agar dapat menarik minat masyarakat untuk mengikutinya.
5.
Sebaiknya pemerintah membentuk
sebuah badan khusus untuk menangani masalah buta aksara ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2009.Pemberantasan Buta Aksara Mesti Diarahkan.
Jumini.2009.Pemberantasan Buta Aksara Melalui KKN
Tematik.UPTD:Sanggar
Mayo,M.
(1998).“Community Work”,dalam Adams,Dominelli dan Payne (eds),Social Work:Themes,
Issues and Critical Debates.London:McMillan.
Netting,
F. Ellen,Peter M. Kettner dan Steven L. Mc Murtr y (2004). Social Work Macro
Practice (third edition). Boston: Allyn and Bacon.
Payne,
M. (1995). Social Work and Community Care. London: McMillan.
Twelvetrees,
A. (1991). Community Work. London: McMillan.
Tim
Penyusun, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud Jakarta: Balai
Pustaka.
www.indonesia.go.id.
Diakses pada hari Rabu tanggal 28 Oktober 2012 pukul
13.40 WIB.
Setyawan, Budi. dkk.”Berpacu Memberantas Buta
Aksara”.Suara Merdeka,16/09/2012.hal 20.
Kegiatan
Belajar Kabupaten Blora Jawa Tengah. Diakses pada hari Rabu tanggal
28 Oktober 2012 pukul 13.40 WIB.
Statistik
Gender Bidang Pendidikan tahun 2011, BPS Pusat, Jakarta.
Undang-undang
Dasar 1945.
Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar