Sabtu, 18 Januari 2014

Studi Kasus Buta Aksara Di Jawa Tengah


BAB I
PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang
Buta aksara adalah masalah yang sangat serius karena jika seseorang buta aksara sama artinya dengan tidak berkemampuan untuk membaca dan menulis akan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. UUD 1945 mengamanatkan kepada semua warga negara untuk memberantas buta aksara sesuai dengan tujuan negara yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga terdapat pada BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Namun dalam kenyataannya masih banyak warga negara yang buta aksara kususnya di daerah Jawa Tengah. Itu berarti bahwa pemerintah belum bisa mencapai tujuan tersebut. Walaupun sudah dilakukan upaya-upaya untuk memberantas buta aksara, tetapi buta aksara masih banyak terdapat di masyarakat, karena terdapat banyak kendala-kendala yang dihadapi, misalnya mereka yang buta aksara itu tidak mau belajar membaca, menulis, berhitung serta berkomunikasi. Walaupun sudah ada kemauan tetapi terhambat oleh kemiskinan.
2.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.   Bagaimana kondisi riil buta huruf di masyarakat Jawa Tengah ?
2.   Bagaimana metode yang digunakan dalam upaya pemberantasan buta aksara melalui pendekatan pengembangan masyarakat?
3.   Apa saja upaya pemerintah dalam memberantas buta aksara di Indonesia?
4.   Kendala apa saja yang Dihadapi dalam Upaya Pemberantasan Buta Aksara di Jawa Tengah?


3.   Tujuan dan Manfaat Penulisan
·     Tujuan
a.      Bagi Pembaca:
1.     Meningkatkan kesadaran pentingnya ketrampilan membaca-menulis di dalam kehidupan.
2.     Menumbuhkan kepedulian terhadap masalah buta aksara.
b.     Bagi Penulis:
1.     Mengetahui kebenaran kontrovensi buta aksara yang ada di Jawa Tengah
2.     Lebih kritis dalam menyikapi masalah buta aksara
·       Manfaat
a.      Bagi Pembaca:
1.     Mengetahui adanya buta aksara di Indonesia.
2.     Mengetahui langkah-langkah pemberantasasn buta aksara.
3.     Mengetahui upaya pemerintah dalam memberantas buta aksara yang ada di Indonesia.
b.     Bagi Penulis:
1.     Mengetahui metode yang digunakan dalam upaya pemberantasan buta aksara melalui pendekatan Pengembangan Masyarakat
2.     Mengetahui kendala yang dihadapi dalam upaya pemberantasan buta aksara.










BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.   Hakikat Berpacu Memberantas Buta Aksara
a.     Makna dan Arti Kata “Berpacu”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “berpacu” adalah berlari kencang-kencang, berusaha untuk saling mendahului. Kata “berpacu” sama artinya dengan: sungga, patu, mengebut, bersaing, beradu dan berlomba-lomba.
b.     Makna dan Arti Kata “Memberantas” 
Kata “memberantas”  berasal dari kata dasar berantas, kata ini dapat berimbuhan menjadi meberantas, pemberantasan, pemberantas dan memberantas.
Definisi pemberantasan (kata benda) adalah tindakan menghancurkan, membinasakan, atau menghapus, kehancuran, pemusnahan.
Contoh: Beberapa telah berteori bahwa pemberantasan dinosaurus itu disebabkan oleh perubahan radikal dalam iklim.
c.      Pengertian Buta Aksara
Buta aksara adalah ketidakmampuan membaca dan menulis baik bahasa Indonesia maupun bahasa lainnya. Buta aksara juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk menggunakan bahasa dan menggunakannya untuk mengerti sebuah bacaan, mendengarkan perkataan, mengungkapkannya dalam bentuk tulisan, dan berbicara.
Dalam perkembangan saat ini kata buta aksara diartikan sebagai ketidakmampuan untuk membaca dan menulis pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau dalam taraf bahwa seseorang dapat menyampaikan idenya dalam masyarakat yang mampu baca-tulis, sehingga dapat menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan  buta aksara, pemerintah pusat telah mengeluarkan beberapa landasan hukum  sekaligus sebagai dasar kebijakan dalam memberantas buta aksara, yaitu:
1.     Instruksi Presiden No. 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dan Pemberantasan Buta aksara.
2.     Keputusan bersama Mendiknas, Mendagri, dan Meneg PP tentang Percepatan Pemberantasan Buta Aksara Perempuan.
3.     Kerjasama Mendiknas dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan di antaranya: PKK Pusat, Muslimat NU, Aisyiyah, Kowani, dan Wanita Islam.
4.     Keputusan MENKOKESRA No. 22 tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas dan Pemberantasan Buta Aksara.
5.     Keputusan Mendiknas No. 35 th 2006 tentang Pembentukan Tim Pelaksana Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan wajar Dikdas dan pemberantasan Buta Aksara dan pembentukan sekretariatnya.
6.     Keputusan Dirjen PLS No. Kep-82/E/MS/2007 tentang Pembentukan Kelompok Kerja GNP-PBA.
2.   Hakikat Pengembangan Masyarakat
Pengembangan Masyarakat (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya. Masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu:
1.     Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.
2.     Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental (Mayo, 1998).
Tiga fokus perhatian Pengembangan Masyarakat, yaitu masalah, populasi, dan arena. Tiga aspek tersebut dapat digunakan sebagai unit analisis bagi para Pekerja Sosial dalam mengidentifikasi dan mempelajari kebutuhan akan perubahan dan karenanya dapat dijadikan patokan dalam merumuskan solusi. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan berdasarkan ketiga unit analisis tersebut pada intinya melibatkan dua kegiatan utama, yakni mempelajari literatur dan mewawancarai populasi yang sedang terkena masalah yang mungkin cukup serius (Netting, Kettner dan Mc Murtry, 2004).
Masalah dan kebutuhan muncul dalam berbagai bentuk. Sebagian masalah berbentuk persoalan personal atau keluarga yang dapat dipecahkan dalam konteks individu atau keluarga pula. Masalah lainnya bisa memiliki spektrum yang lebih luas dan hanya dapat dipecahkan melalui perubahan sosial pada tingkat rukun tetangga, organisasi, dan komunitas. Para pemuka masyarakat, pemimpin politik dan aktivis biasanya sangat bersemangat untuk melakukan perubahan dengan berusaha secepat mungkin menghasilkan solusi-solusi yang dianggapnya paling praktis (Netting, Kettner dan Mc Murtry, 2004).
Pengembangan Masyarakat memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengambangan Masyarakat seringkali diimplementasikan dalam bentuk:
1.     Proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya.
2.     Kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab.
(Payne, 1995).
Pengembangan Masyarakat adalah “the process of assisting ordinary people to improve their own communities by undertaking collective actions.” Secara khusus Pengembangan Masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan (Twelvetrees, 1991).
Secara garis besar, perspektif Pengembangan Masyarakat dibagi ke dalam dua bingkai, yakni pendekatan “profesional” dan pendekatan “radikal”. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme dan analisis anti-rasis, pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka, serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya (Twelvetrees, 1991).






















BAB III
ANALISIS
1.     Buta Huruf atau Buta Aksara di Jawa Tengah
Berdasarkan laporan resmi dari badan sosial dunia, Indonesia mempunyai banyak masyarakat yang masih buta huruf. Pada tahun 2005, penduduk Indonesia yang masih buta huruf pada usia 10 tahun keatas sebanyak 15,04 juta orang. Dengan perincian jumlah penduduk usia 15 – 44 tahun yang buta huruf tercatat 3,.5 juta orang, sedangkan usia 45 tahun keatas yang masih buta huruf tercatat 11,07 juta.
Di Wonosobo, total warga yang belum melek huruf hingga akhir Agustus 2012, sebanyak 42.572 jiwa. Dari jumlah itu, peringkat angka buta huruf terbesar yakni di Kecamatan Kertek sebanyak 6.079 jiwa, Kepil’ sebanyak 4.445, dan kecamatan Sapuran sebanyak 3.295 jiwa. Dari lima belas kecamatan yang ada jumlah warga yang buta huruf relative rendah yakni di Kecamatan Leksono yang hanya 1.084 jiwa.
Di kabupaten Kebumen, merujuk data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kebumen 2012 jumlah warga buta aksara mencapai 20.397 orang, tersebar di 26 kecamatan. Angka tersebut didominasi oleh perempuan yakni 13.460 orang dan laki-laki 6.937 orang.
Di Kabupaten Banyumas, jumlah warga yang masih buta huruf sekitar 6,6 persen dari total jumlah penduduk 1.554.527 jiwa. Data tersebut adalah data yang diperoleh dari BPS.
Hal ini menunjukkkan bahwa tingkat kesadaran pendidikan di Indonesia khususnya di Jawa Tengah masih tergolong rendah. Apabila hal ini tidak ditanggulangi, maka Indonesia dapat menjadi negara yang terbelakang, karena sebagian besar penduduknya tidak bisa membaca.
Upaya penanggulangan kemungkinan buta huruf dapat dilakukan sejak dini yaitu dengan sekolah. Melalui bangku sekolah, anak dapat belajar untuk membaca agar nantinya tidak menambah daftar panjang permasalahan di Indonesia melalui penambahan angka penyandang buta aksara.
Berdasarkan sebuah penelitian, orang-orang yang menyandang buta aksara lebih tertinggal dan lebih terbelakang daripada orang-orang yang pandai dan bisa membaca. Oleh karena itu, apabila masyarakat suatu bangsa makin tertinggal dari bangsa lain, maka bisa dikatakan pembangunan negara tersebut juga masih tertinggal dari negara lain.
Buta aksara yang ada di Indonesia sebenarnya telah ada sejak zaman penjajahan. Dari pihak negara penjajah memang telah disengaja agar rakyat Indonesia menjadi lebih terbelakang dan bodoh-bodoh agar nantinya tidak merugikan mereka yang menjajah. Pada masa tersebut, tidak ada sekolah untuk rakyat yang bukan keturunan “ningrat”, sehingga rakyat Indonesia yang miskin sama sekali tidak ada kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan terjadilah buta aksara. Hal ini sama sekali tidak menguntungkan rakyat Indonesia sendiri, karena menjadikan penjajah makin lama menduduki Indonesia.
Menurut pengamat sosial kemasyarakat Universitas Sebelas Maret, Prof Dr Sodiq A Kuntoro menegaskan disamping faktor kemiskinan baik struktural dan absolut, penyebab buta aksara juga dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Menurut beliau lagi, adanya krisis multidimensional ini sangat mempengaruhi usaha pemerintah untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun. Setiap tahun hampir 1 juta anak terancam putus sekolah dasar dikarenakan berbagai sebab. Angka putus sekolah SD dan madrasah ibtidaiyah, dalam enam tahun terakhir rata-rata putus sekolah sebanyak 761.366 anak dari seluruh jumlah siswa SD dan MI sebanyak 25.729.254 anak di Indonesia.
Putus sekolah anak SD ini, lanjutnya menjadi penyumbang terbesar bagi bertambahnya jumlah buta aksara di Indonesia karena menurut penelitian UNESCO, jika peserta pendidikan sekolah dasar mengalami putus sekolah khususnya ketika dia masih duduk di kelas I hingga kelas III, maka dalam empat tahun tidak menggunakan baca tulis hitungnya, maka mereka akan menjadi buta aksara kembali. Belum lagi masih banyak anak Indonesia yang belum memiliki kesempatan untuk masuk sekolah karena orang tua atau keluarganya tidak mampu. Kondisi ini memaksa orang tua untuk mempekerjakan anak mereka untuk mendatangkan pemasukan tambahan bagi keluarga.
2.     Metode yang Digunakan dalam Upaya Pemberantasan Buta Aksara Melalui Pendekatan Pengembangan Masyarakat
Pemberantasan buta aksara tidak dapat langsung dilaksanakan. Namun memerlukan waktu dan perancangan program yang tepat. Dalam Pengembangan Masyarakat, program biasanya dikembangkan untuk menyediakan pelayanan sosial yang secara langsung menyentuh klien atau sasaran perubahan. Dalam kasus pemberantasan buta aksara ini, perancangan program dapat dilaksanakan sebagai berikut:
1)     Merumuskan nama program atau intervensi.
Nama program bisa mengacu pada tujuan umum (goal) program yang berfungsi memberikan fokus pada rencana atau usaha perubahan, serta pedoman bagi maksud atau alasan-alasan mengapa program Pengembangan Masyarakat perlu dilakukan.
2)     Menyatakan tujuan-tujuan hasil.
Menjelaskan hasil-hasil yang ingin dicapai sebuah program secara terukur dalam kurun waktu tertentu dan dengan indikator atau ukuran yang ditetapkan. Misal: menetapkan kerangka waktu, mendefinisikan populasi sasaran, merumuskan hasil yang ingin dicapai, menyatakan indikator atau kriteria untuk mengukur pencapaian hasil.
3)     Menyatakan tujuan-tujuan proses.
Misalnya adalah menetapkan kerangka waktu bagi proses pencapaian tujuan, mendefinisikan populasi sasaran, merumuskan hasil dari proses pencapaian tujuan, menyatakan indikator atau kriteria yang dapat dijadikan dokumen
4)     Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan.
Membuat format kegiatan-kegiatan untuk memudahkan pemantauan (monitoring), merumuskan kegiatan atau tugas yang harus selesai dilakukan untuk mencapai tujuan.
5)     Mengembangkan rencana aksi.
Merancang manajemen logistik, memilih dan melatih para partisipan.
6)     Memonitor proses kegiatan.
Memonitor kegiatan-kegiatan teknis, memonitor kegiatan-kegiatan interpersonal.
7)     Mengevaluasi hasil intervensi.
Membuat laporan-laporan evaluasi secara periodik berdasarkan hasil monitoring.
3.     Upaya Pemerintah untuk Memberantas Buta Aksara di Indonesia
Indonesia dapat dikatakan Negara yang tergolong cepat dalam pemberantasan buta aksara. Bahkan hal ini telah diakui oleh badan-badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, serta WHO. Hal ini menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi pemerintah Indonesia khususnya. Oleh karena itu, setiap tahunnya pemerintah mempunyai target sendiri dalam upaya memberantas buta aksara. Pada tahun 2009 ini, pemerintah mentargetkan penurunan angka buta aksara sebanyak 5% dari tahun 2008.
Akan tetapi, pada dasarnya agak susah memang untuk dapat memberantas buta aksara secara tuntas karena buta aksara yang masih tersisa merupakan kelompok yang paling sulit diberantas. Sebab, sebagian besar dari mereka berusia di atas 44 tahun yang umumnya berasal keluarga kurang mampu, penglihatannya sudah terganggu dan kebanyakan tinggal di daerah terpencil.
Pemerintah tidak dapat hanya tinggal diam dengan keadaan seperti ini. Tingkat buta aksara di Indonesia yang masih tergolong tinggi akan mengakibatkan kurang produktifnya masyarakat, sehingga dapat dikatakan, hal ini digunakan sebagai indikator keberhasilan Pengembangan Masyarakat. Oleh karena itu, upaya pemerintah sangatlah kuat dalam upaya pemberantasan buta aksara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai segi:
1)  Pemerintah Indonesia mengalokasikan dana sebesar Rp 600 miliar pada tahun 2007 untuk program pemberantasan buta aksara dan jumlah dana ini berbeda tiap tahunnya.
2)  Pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah beserta ormas-ormas lain untuk keberhasilan pelaksanaan program ini agar angka buta aksara di Indonesia dapat berkurang semaksimal mungkin. Diharapkan dengan adanya bantuan dari ormas lain, angka buta aksara dapat berkurang lebih cepat dan lebih terarah.
3)  Pemerintah dapat bekerjasama dengan dinas pendidikan dimana upaya pemberantasan buta aksara dilaksanakan oleh perguruan tinggi, utamanya oleh mahasiswa. Hal ini dikarenakan: (pertama) para mahasiswa dapat dijadikan sebagai tutor yang telah mempunyai bekal kemampuan akademis dan usia yang masih muda sehingga mempunyai idealisme yang tinggi dalam rangka pencapaian tugas yang akan dibebankan. (kedua) mahasiswa akan lebih intens bertemu dengan warga belajar karena berada di lingkungan warga belajar. (ketiga) dengan pendekatan ini diharapkan waktu untuk pemberantasan akan empat kali lebih cepat dibanding dengan yang ditangani oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan organisasi lain. (keempat) adanya sebuah fakta bahwa nilai mahasiswa di mata masyarakat masih sangat tinggi sehingga diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap program ini juga meningkat.
4)  Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
5)  Pemerintah menerapkan strategi untuk pemberantasan buta aksara seperti yang diusulkan oleh UNESCO, yaitu (pertama) pemetaan jumlah penyandang buta aksara secara tepat. (kedua) perluasan informasi dan sosialisasi pentingnya melek aksara. (ketiga) pemberdayaan sekolah formal dan nonformal bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM). (keempat) program pendidikan membaca secara inovatif melalui kegiatan di luar sekolah. (kelima) menjalin kemitraan dengan UNESCO.
Contoh nyata upaya pemerintah dalam program pengentasan buta aksara ini antara lain pada tahun 2005, Depdiknas telah menyusun Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Nasional; (Renstra Depdiknas) untuk tahun 2005-2009 yang menitik beratkan kepada terwujudnya kehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara yang aman, bersatu, rukun dan damai, terwujudanya masyarakat Bangsa dan Negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak asasi manusia serta terwujudnya perekonomian yang ampuh menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan, yang dilandasi keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.
Guna mewujudkan itu, Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 2006 sampai 2009 ini telah menetapkan 3 pilar kebijakan pembangunan pendidikan agar setiap pengambil keputusan dan operator pendidikan di pusat maupun daerah memiliki komitmen bersama tentang pemerataan dan perluasan akses yang diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan sesuai dengan prioritas nasional, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari golongan masyarakat yang berbeda, baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan tersebut ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia agar dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka pemenuhan hak warga Negara terhadap pendidikan.
Dari contoh di atas, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan sangatlah diutamakan, demi terwujudnya esensi dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sangat jelas di sini bahwa Pemerintah Indonesia sangat menjunjung tinggi pendidikan dan selalu berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya pengentasan buta aksara, mulai dari Wajib Belajar 9 tahun hingga sekolah gratis dan program pemberantasan buta aksara yang diperuntukkan warga yang bukan anak-anak lagi.
Namun Pemberantasan buta aksara tidak lagi cukup pada membuat warga yang belum melek huruf mampu membaca dan menulis. Program itu mesti diarahkan dan diintegrasikan untuk memberdayakan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Upaya pemberantasan buta aksara diintegrasikan juga untuk membuat warga berdaya dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan kehidupan berbangsa. Tantangan sekarang bukan sekadar buta aksara hilang, tapi membuat warga berdaya untuk memperbaiki taraf hidup.
Pemerintah telah menetapkan fokus pemberantasan buta aksara. Fokus pemberantasan buta aksara tersebut terutama di daerah transmigrasi, pesisir, sekitar hutan, dan kepulauan. Selain itu, sasaran juga diperkuat bagi masyarakat perbatasan, masyarakat perkotaan yang belum terlayani, santri/pesantren tradisional, serta komunitas adat terpencil. Hal ini dikarenakan, masyarakat yang tinggal di daerah ini belum mampu secara ekonomi untuk menuntaskan belajar formal mereka, serta kurangnya tenaga pengajar yang ada di daerah ini.
Pemberantasan buta aksara merupakan salah satu fokus penting untuk memperbaiki indeks pembangunan manusia di tiap-tiap daerah. Berhasilnya program pemberantasan buta aksara akan membuat warga percaya diri dan berdaya untuk keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan.
4.     Kendala yang Dihadapi dalam Upaya Pemberantasan Buta Aksara di Jawa Tengah
Tidak ada gading yang tak retak. Semua program pasti mempunyai kendala. Demikian juga dengan program pemberantasan buta aksara ini. Meskipun Indonesia mampu mengurangi angka penyandang buta aksara, namun ternyata dibalik itu semua para subjek pelaksana teknis menghadapi banyak kendala. Diantaranya adalah:
a.   Banyak masyarakat Jawa Tengah di daerah Wonosobo, Purwokerto, Kebumen, Banyumas yang menyandang buta aksara sudah terlalu tua sehingga kemampuan menyerap ilmu lebih lambat, belum lagi yang menderita gangguan penglihatan karena usia mereka yang sudah tidak muda lagi.
b.   Adanya data yang tidak valid atau peserta fiktif. Hal ini dikarenakan mungkin karena tidak ada peminat untuk mengikuti diklat dalam upaya pemberantasan buta aksara. Mereka yang tidak ikut kebanyakan telah mempunyai kesibukan sendiri seperti bekerja di sawah ataupun menjadi ibu rumah tangga.
c.   Dalam pelaksanaan program-program tersebut, terlalu memakan waktu sehingga tidak efisien bagi mahasiswa yang mempunyai kesibukan sendiri, serta masyarakat yang bersangkutan.
d.   Keterbatasan biaya.
e.   Banyaknya penduduk di wilayah Jawa Tengah.





















BAB IV
PENUTUP
1.     Simpulan
Indonesia mempunyai banyak masyarakat yang masih buta huruf. Buta huruf atau buta aksara adalah mereka yang tidak dapat membaca, dan menulis secara sederhana untuk keperluan sehari-hari. Definisi ini merupakan hal standar yang diakui secara internasional. Angka buta aksara di Indonesia masih tergolong tinggi mengingat banyaknya angka putus sekolah serta masyarakat yang belum mampu untuk membiayai sekolah.
Berbagai upaya telah ditempuh untuk program pemberantasan buta aksara ini. Diantaranya melalui metode pendekatan Pengembangan Masyarakat. Berdasarkan metode tersebut, ada tujuh langkah yang dapat dilaksanakan dan tujuh langkah tersebut harus berurutan sehingga dalam pelaksanaannya dapat diaplikasikan secara maksimal.
Pemerintah sendiri mempunyai berbagai cara untuk mengurangi angka buta aksara di Indonesia. Cara yang ditempuh dapat dilaksanakan melalui program sekolah gratis, bekerjasama dengan dinas pendidikan maupun ormas lain untuk memberikan diklat khusus kepada penyandang buta aksara. Tujuan dilaksanakan program ini antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar nantinya tidak tertinggal dari Negara lain. Pada tahun 2009 ini, pemerintah mentargetkan penurunan angka buta aksara sebesar 5% dengan anggaran dana sekitar Rp 600 miliar untuk teknis pelaksanaan di lapangan.
Dalam pelaksanaan program ini ditemui banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Hal ini dikarenakan kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri.
2.     Saran
Dari ulasan di atas, saran yang dapat penulis sampaikan antara lain:
1.   Pemerintahan di Jawa Tengah harus lebih tegas dalam merancang sebuah program agar pada akhirnya suatu program dapat terlaksana dengan baik.
2.   Pemerintahan harus bekerjasama dengan pihak lain agar angka buta aksara di  Jawa Tengah dapat berkurang.
3.   Tidak ada salahnya merancang program sekolah gratis, namun pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan harus tetap memonitor agar pihak sekolah tidak menarik biaya terlalu mahal.
4.   Program diklat harus dibuat semenarik mungkin agar dapat menarik minat masyarakat untuk mengikutinya.
5.   Sebaiknya pemerintah membentuk sebuah badan khusus untuk menangani masalah buta aksara ini.













DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2009.Pemberantasan Buta Aksara Mesti Diarahkan.
Jumini.2009.Pemberantasan Buta Aksara Melalui KKN Tematik.UPTD:Sanggar
Mayo,M. (1998).“Community Work”,dalam Adams,Dominelli dan Payne (eds),Social Work:Themes, Issues and Critical Debates.London:McMillan.
Netting, F. Ellen,Peter M. Kettner dan Steven L. Mc Murtr y (2004). Social Work Macro Practice (third edition). Boston: Allyn and Bacon.
Payne, M. (1995). Social Work and Community Care. London: McMillan.
Twelvetrees, A. (1991). Community Work. London: McMillan.
Tim Penyusun, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud Jakarta: Balai
Pustaka.
www.indonesia.go.id. Diakses pada hari Rabu tanggal 28 Oktober 2012 pukul
13.40 WIB.
Setyawan, Budi. dkk.”Berpacu Memberantas Buta Aksara”.Suara Merdeka,16/09/2012.hal 20.
Kegiatan Belajar Kabupaten Blora Jawa Tengah. Diakses pada hari Rabu tanggal
28 Oktober 2012 pukul 13.40 WIB.
Statistik Gender Bidang Pendidikan tahun 2011, BPS Pusat, Jakarta.
Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar